Barat dan Islam. Peradaban?

Selama berabad-abad, Barat selalu dilihat sebagai guru, karena lebih maju dan modern. Sebaliknya Timur selalu dianggap tradisional sehingga perlu upaya modernisasi dan sivilisasi. Gambaran ini merupakan kenyataan ataukah lebih sebagai bangunan image. Sekedar bangunan image ataukah sudah menjadi kesadaran. Maka melihat peradaban Barat dan Timur lebih dari sekedar membandingkannya, lebih jauh dari itu mestinya terlibat upaya penelusuran bangunan image dan kesadaran tentang keduanya.

Ibarat sebuah bangunan, peradaban itu memiliki fondasi, tiang penyangga, atap dan berbagai asesoris. Maka tidak cukup melihat suatu peradaban hanya pada wilayah permukaan, bisa-bisa malah salah pandang. Sejak semula antara peradaban Barat dan Islam itu berbeda. Ini yang menarik perhatian ilmuwan Barat untuk melihat Islam, sehingga berkesimpulan bahwa Islam adalah peradaban Seni, seraya menjajakan “dagangannya” peradaban ilmu yang lebih maju.

Makalah sederhana ini akan melihat akar-akar dan konsekuensi lebih jauh dari pandangan ini, baik pada paradaban Barat maupun Islam.

Barat dan Timur, konstruksi sepihak Barat

Pada tahun 1978, Edward W. Said menulis buku yang berjudul Orientalism,[1] sebuah karya yang penting dalam melihat posisi istilah Barat dan Timur. Dalam buku itu, Said dengan tegar mengemukakan gugatan bahwa Barat bertanggung jawab membentuk persepsi yang keliru tentang dunia Timur. Sejak buku Said itu, pembicaraan yang bernada gugatan, keberatan dan kritik terhadap ‘tradisi’ intelektualisme Barat terus bermunculan, misalnya dengan munculnya karya Tibawi,[2] Mahmod Shakr,[3] Asaf Husain,[4] juga Fazlur Rahman[5] dan lain-lain. Memang Said bukanlah orang Barat pertama yang mengkritisi tradisinya sendiri. Ilmuwan Barat lain seperti Norman Daniel,[6] Maxime Rodinson,[7] Albert Hourani[8] dan lain-lain, juga telah melakukan hal yang sama.

Dalam pandangan mereka, Timur dan Barat sebenarya istilah yang penuh dengan bias kultural, etnosentris, bahkan rasial (Eurosentrisme). Istilah Timur bukanlah merupakan sesuatu yang alami atau ada dengan sendirinya. Timur (Orient), dalam istilah Said, adalah imaginative geography,[9] yang diciptakan secara sepihak oleh Barat. Dengan cara demikian, Barat kemudian berhasil mengambil peran sebagai ego yang menjadi subyek dan menganggap non Barat sebagai the other yang dijadikan objek. Maka Orient, sebenarnya, adalah pandangan Eropa terhadap the other non Eropa.

Dengan posisinya itu, maka muncullah apa yang disebut dengan kompleksitas superioritas (superiority complex) dalam ego Eropa, sebaliknya karena posisinya sebagai objek, maka dalam diri the other non Eropa, muncul inferioritas kompleks (inferiority complex).[10] Bryan S. Turner dalam sebuah artikelnya, menunjukkan bahwa Islam dan Timur dalam image Barat memang sangat diwarnai Eurosentrisme.[11] Maka tak heran, jika dunia mistik dan proyeksi sifat-sifat yang diasosiasikan dengan Timur yang terjajah itu sebagai suatu budaya yang marjinal.

Bias ego Eropa dalam melihat Timur ini, juga dieksplor banyak oleh intelektual asal Cairo, Hasan Hanafi. Menurut Hasan Hanafi, ego Eropa itu mencapai kematangannya dalam kekuatan ekspansi imperialisme Eropa setelah mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang Timur yang dijajah.[12] Di sini hubungan Barat dan Timur mengalami fase “konfrontasi kolonialisme”, dan konsekuensi selanjutnya adalah, umat Islam di dunia ini langsung atau tidak langsung ditempatkan di bawah pemerintah Barat.[13]

Asaf Hussain melihat keterkaitan ini, dengan menyatakan: “Orientalism helped to legitimaze imperialist policies devised to control the colonized…the Orientalist is really addressing the West”.[14] Hal yang sama juga diungkap Bryan Turner, “the orientalism served the interests of imperialism and the West”.[15]

Representasi kebudayaan Barat yang dominan itu kemudian cenderung mensubordinasikan Timur.[16] Artinya, Timur harus ‘disivilisasikan’. Proyek sivilisasi lalu menjadi pembenaran ideologis bagi berlangsungnya kolonialisme, humanisme, dan orientalisme yang dalam sejarahnya ternyata berjalan paralel.

Sebagai konsekuensi dari sikap itu, Barat kemudian memperlakukan Timur, the other itu sebagai dunia lain karena penuh misteri, eksotik, aneh, bermental pasif, puitis, mistis, irasional, tidak beradab dan feminim dan seterusnya. Suatu karasteristik yang secara tepat mewakili sifat-sifat yang telah ditemukan di dalam realitas imajiner timur.

Tradisi Intelektualisme; Wilayah Permukaan

Gejala penting yang paling bisa dilihat dari suatu peradaban adalah tradisi intelektualisme, dalam hal ini pemikiran dan keilmuan yang berkembang. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa pemikiran dan keilmuan merupakan gambaran dari suatu peradaban. Bagaimana peradaban suatu bangsa, sebenarnya bisa dilihat dari tradisi inteletualismenya. Kedekatan antara keilmuan dengan peradaban ini juga diakui oleh Seyyed Hossein Nasr.[17]

Sudah barang tentu, tradisi intelektualisme itu akan menjadi tampak pada pandangan kaum intelektualnya, terutama terkait dengan persoalan-persoalan asasi kehidupan. Dari sisi ini, pandangan atas persoalan-persoalan asasi kehidupan juga dapat menjadi ciri khas peradaban suatu bangsa. Maka wajar jika peradaban Islam dan Barat cenderung berbeda, atau bahkan bertentangan.

Persoalan asasi yang sering menjadi wacana intelektual, antara lain:

1. Pandangan tentang hakikat realitas

Pemikiran rasionalisme Barat[18] sebagai penabuh genderang peradaban Barat modern, justru datang untuk mengkritik pemikiran metafisik dan teologik yang selama 20-an abad lamanya melahirkan teori dan pemikiran cemerlang tentang hakikat realitas.[19] Bagi rasionalisme Barat, realitas ini berdiri tegak di atas prinsip-prinsip yang diakui benar oleh rasio dan dari prinsip itu realitas ini kemudian dideduksikan. Selajutnya, pendapat dari empirisis menyatakan bahwa realitas ini sejauh bisa dialami, tak ada dunia lain. Immnuel Kant memperjelas, dengan menyatakan bahwa realitas ini adalah konstruksi apriori manusia. Pandangan yang lebih radikal lahir dari filsuf August Comte dengan teori positivisme. Dalam teorinya itu, Comte membagi sejarah pemikiran manusia ke dalam tiga tahap, yaitu mitologi, metafisik, dan yang terakhir adalah positivisme. Bagi Comte, saat ini manusia memasuki peradaban positif. Hanya fakta positif yang bisa dipercaya, maka seluruh pandangan metafisika harus dieliminasi. Pada kenyataannya pandangan demikian ini yang berkembang sepanjang sejarah peradaban Barat.

Sudah tentu pandangan demikian berbeda dengan pandangan keilmuan Islam yang melihat realitas ini bersumber dari Allah. Maka wajar jika pemikiran metafisika, baik oleh filsuf-logik, filsuf-teolog, maupun filsuf-sufi selalu bermula dari Allah dan berakhir padaNya, Sang umber realitas, misalnya teori emanasi (al-faidl),[20] teori kenabian,[21] teori illuminasi (isyraqiy),[22] dan teori mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah,[23] wihdat al-syuhud al-Ghazali,[24] dll.

2. Pandangan tentang hakikat manusia

Dalam pandangan Barat, manusia adalah penentu dunia ini. Inilah pandangan humanisme, yang memang sejak masa Renaisance menjadi wacana dominan pemikiran Barat. Sekalipun terdapat perbedaan perpektif mengenai aspek mana dari manusia yang paling berperan, pemikiran rasionalisme dan empirisisme terlihat dengan jelas bahwa manusia adalah segala-galanya. Pendapat kedua paham ini diperjelas oleh Kant. Dengan teori “Copernican Revolusion“nya, Kant berpendapat bahwa manusia sendiri dapat menciptakan dunianya. Lebih jauh dari itu, Federic Nietzche melihat bahwa manusia adalah “uberman” atau superman, manusia bermental tuan yang dapat bertindak bebas tanpa petunjuk Tuhan. Bahkan manusia setengah robot yang memiliki AI (Artificial Intellegence) dan AL (Artificial Life), yang diprhatinkan oleh Lyotard. Manusia demikian ini disebut sebagai mengatasi batas gender bahkan sex, juga mengatasi panas bumi sebagai akibat kemajuan sain-teknologi yang kian tak terkendali. Lyotard sendiri menyebutnya dengan “inhuman” (nirmanusia). Inilah posisi dan hakikat manusia model Barat.

Berbeda dengan pandangan Barat, khazanah pemikiran Islam melihat bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, yang sekalipun berdimensi jasmani tetapi juga makhluk berdimensi rohani yang dapat bertransendensi. Pemikiran tentang manusia dalam Islam selalu berujung pada kesimpulan bahwa manusia itu “sakral” yang dapat mencapai tingkat spiritualitas tinggi dengan iman dan taqwanya. Dalam hazanah sufi, manusia malah tidak sekedar “percikan suci” tuhan, tetapi tuhan dapat mengambil tempat pada Kesadaran-Diri manusia, seperti pada pengalaman al-ittihad al-Basthami,[25] al-hulul al-Hallaj,[26] wihdat al-wujud al-’Arabi.[27]

3. Pandangan tentang alam

Pemikiran tentang hakikat alam biasanya termasuk dalam tema kosmologi, yang pada kenyataannya, sangat berpengaruh pada perkembangan ilmu-ilmu kealaman (natural scienses). Dalam pemikiran Barat, umumnya bertitik tumpu pada paradigma Cartesian-Newtonian yang melihat alam secara mekanistis. Alam dilihat sebagai objek yang komponen-komponennya terbangun dalam relasi kausalitas. Maka penyelidikan sains dijalankan tak lain sebagai upaya pemecahan teka teki, untuk menemukan “hukum tetap yang berlaku general” bagi alam, yang cenderung eksploitatif. Kita semua tahu bahwa eksploitasi besar-besaran terhadap alam akan membuat alam tidak lagi ‘bersahabat’. Inilah konsekuensi kosmologi empirik; alam tidak ada kaitannya dengan problem metafisik apalagi religik.

Ini yang membuat keprihatinan tersendiri, terutama dikalangan agamawan dan ilmuwan yang concern atas agamanya untuk kembali ke kosmologi metafisika (return to metaphysic cosmology). Inilah yang setidaknya dilakukan S.H. Nasr dengan proyeknya Kosmologi Islam (Islamic Cosmology), untuk menjawab kekeringan makna pada kosmologi empiris. Hal yang sama juga dilakukan oleh Harun Yahya yang mengungkap rahasia di balik penciptaan. Termasuk juga, belakangan ini marak kajian yang mengusung integrasi sain dengan agama (berbeda jika disebut integrasi antara sain [ilmu umum] dan ilmu agama). Maka sebagaimana manusia, alam dalam pandangan Islam, juga memiliki dimensi “sakral”.

4. Pandangan tentang ilmu pengetahuan

Perbedaan pemikiran di atas sebenarnya terkait erat dengan pandangan tentang ilmu. Ilmu pengetahuan merupakan representasi fakta; ungkapan kembali dari fakta, sehingga gambaran mengenai fakta dan dunia sangat tergantung dengan hasil-hasil temuan ilmu pengetahuan atau sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan.

Harus diakui sampai hari ini dunia keilmuan Barat dan bangsa lain yang terhegemoni oleh Barat, berada dibawah dominasi paradigma positivisme. Paradigma ini ambil bagian paling besar dalam mempopulerkan, bahkan membidani ‘kelahiran’ norma-norma ilmiah yang kemudian disebut metodologi ilmiah itu.

Jika dunia ini, misalnya, ada wilayah keimanan (teologik), ada wilayah penalaran (metafisik), dan ada wilayah faktua-sensibel (positif), maka positivisme hanya mengakui yang terakhir, bahkan yang positifpun masih harus disaring lagi, agar benar-benar dapat dipercaya. Proses ‘menyaring’ itu dilakukan dengan ukuran metodologi ilmiah. Dalam menjelaskan istilah metodologi ‘positif’, Comte membuat beberapa distingsi realitas, yaitu: antara ‘yang nyata’ dan ‘yang khayal’; ‘yang pasti’ dan ‘yang meragukan’; ‘yang tepat’ dan ‘yang kabur’; serta ‘yang berguna’ dan ‘yang sia-sia’.[28]

Dengan memberi patok-patok “yang faktual” seperti itu, positivisme mendasarkan ilmu-ilmu pengetahuan pada fakta objektif. Jika faktanya adalah “gejala kehidupan material”, ilmu pengetahuannya adalah biologi. Jika fakta itu “benda-benda mati”, ilmu pengetahuannya adalah fisika.

Gagasan Comte tentang ilmu-ilmu positif ini dipertegas dan mencapai puncaknya dalam apa yang disebut “pengetahuan ilmiah” yang dimotori oleh ‘kelompok’ Lingkaran Wina (Vienna Circle) di abad ke-20 ini.[29] Jika ukuran ilmiah pada comte adalah metodologi ilmiah, concern utama kelompok ini adalah bahasa ilmiah. Mereka membedakan bahasa yang meaningfull dan meaningless, hanya karena kemungkinan dapat diverifikasi secara empiris. Kecuali itu bahasa ilmiah merupakan bahasa representatif bukan ekspresif. Bahasa representatif umumnya menggunakan struktur yang logis, sedang bahasa ekspresif umumnya tak berstruktur. Maka bahasa agama, metafisika, etika, estetika bukan merupakan bahasa ilmiah, dan makanya bukan termasuk kategori ilmu. Konsekuensi nya, dalam pandangan Barat, sesuatu yang disebut ilmu pengetahuan pasti menganut tiga prinsip, yaitu: empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai.[30]

Berbeda dengan pandangan Barat, dalam pandangan Islam, dengan mengikuti al-Ghazali, dikenal ada dua sumber ilmu, yaitu sumber insaniyah dan sumber rabbaniah.[31] Sumber insaniyah merupakan ilmu pengetahuan yang dapat diusahakan oleh manusia dengan jalan ta’allum dan tafakkur. Itupun masih harus mendapatkan verifikasi dari petunjuk al-Quran dan as-sunnah. Sedang sumber rabbaniah adalah sumber ilmu yang merupakan anugrah pemberian dari Tuhan, baik dengan jalan wahyu maupun ilham. Menurut al-Ghazali, ilmu yang diperoleh melalui wahyu hanya diturunkan kepada para Nabi karena mereka memiliki aqal kully (akal universal), sementara ilmu yang datang melalui ilham dan masuk melalui hati manusia disebut ilmu laduni.[32] Maka dalam pandangan Islam, sesuatu itu bisa disebut ilmu, baik merupakan hasil cerapan indra, refleksi akal, petunjuk wahyu (nash), maupun pemberian langsung melalui ilham.

Meski demikian, sepanjang sejarahnya, keilmuan Islam berkembang dalam bimbingan wahyu (nash). Ini yang disebut Abied Al-jabiri dengan nalar bayani. Al-Jabiri[33] adalah intelekual asal Maroko yang belakangan terkenal dengan rekonstruksi “epistemologi Islam”, yaitu bayani, ‘irfani dan burhani.[34] Epistemologi bayani merupakan simbol dari keilmuan Islam yang menempatkan nash (al-Quran dan al-hadits) sebagai al-ashl sedang berbagai ‘produk’ keilmuan yang diturunkan dari nash berkedudukan sebagai al-far’, di mana proses penurunan itu berupa sistem baku yang disebut ijtihad (untuk bidang fiqh) dan istidlal (dalam bidang kalam) . Sementara epistemologi irfani merupakan kerangka dasar bagi keilmuan Islam yang bersumberkan pengalaman spiritual, sebagaimana berkembang dalam tradisi sufi. Ini -barangkali- yang disebut ilmu laduni (dalam bahasa al-Ghazali) di atas.

Sedangkan epistemologi burhani, merupakan simbol dari keilmuan Islam yang menekankan aspek rasionalitas, sebagai pembacaan atas fenomena natural. Maka prinsip tajrid, qadiyah, dan qiyas menjadi ciri khas keilmuan ini.

Dasar dan Tiyang Penyangga

Dalam uraian di atas, terlihat jelas adanya perbedaan yang cukup tajam antara tradisi intelektuslisme Barat dan Islam. Sebenarnya ada beberapa tema lain yang tidak kalah menariknya untuk melihat perbedaan dua tradisi tersebut, misalnya soal sistem pemerintah dan soal sistem perekonomian. Dalam membaca suatu peradaban, beberapa hal itu memang bisa dikatakan masih wilayah permukaan. Karena suatu peradaban dapat berdiri kokoh justru karena ia memiliki fondasi dan tiang penyangga. Wilayah ini sebenarnya merupakan “rahasia” dari suatu peradaban.

Sebagaimana disebutkan di atas, peradaban Islam dibangun di atas otoritas wahyu. Peradaban Islam adalah peradaban al-Quran dan as-Sunnah. Kemampuan indra dan akal bisa bekerja maksimal, bahkan al-Quran dan as-Sunnah banyak mengisyaratkan agar akal dapat berperan secara maksimal, namun tolak ukur kebenarannya tetap berpulang pada otoritas nash. Islam juga tidak menolak kebenaran tauqifi, juga sejauh tidak bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah. Inilah fondasi peradaban Islam.

Di atas fondasi ini terbangun filsafat Islam sebagai tiyang penyangga peradaban ini, mulai dari filsafat ushuliyin (ushul fiqh dan ushuluddin), filsafat peripatetik, filsafat isyraqi, dll. Filsafat-filsafat ini bisa dikatakan berputar mengelilingi satu fokus-pusat. Inilah yang disebut peradaban centripete, yaitu perdaban yang menempatkan tiyang peyangganya sebagai suatu sistem yang saling bergandengan dan berputar mengelilingi pusatnya.[35]

Berbeda dengan Islam, peradaban Barat berdiri di atas fondasi rasio dan kemampuan pengalaman indrawi. Di atas fondasi ini terbangun Filsafat Barat sebagai tiyang penyangganya. Meski demikian harus diakui, tiyang penyangga itu berupa kesadaran parsial sesuai dengan atribut kebangsaan yang ada di Eropa. Ada kesadaran Jerman, kesadaran Prancis, kesadaran Rusia, kesadaran Amerika, dan lain-lain. Hal ini dapat dilihat dalam buku-buku tentang biografi filsuf. Jika penulis berkebangsaan Jerman, ia akan banyak menyebut filsuf Jerman. Demikian pula, jika penulis orang Prancis, Inggris, Rusia atau lainnya, ia akan melakukan hal yang sama.

Masing-masing kesadaran memiliki ciri yang berbeda, seperti ciri idealis dalam kesadaran Jerman, empiris dalam kesadaran Inggris, ciri psikologis dalam kesadaran Prancis, ciri praktis dan pragmatis dalam kesadaran Amerika, ciri sosiologis dalam kesadaran Rusia, ciri logis dalam kesadaran Polandia, ciri vitalis dalam kesadaran Spanyol. Maka wajar jika sering terjadi persaingan antarbangsa Eropa guna meraih predikat sebagai personifikasi peradaban Barat. Seluruh bangsa Eropa mengklaim peradabannya sebagai personifikasi peradaban Barat.

Jika peradaban Islam menganut centripete, peradaban Barat menganut centrifuge, di mana filsafat dan keilmuan yang ada semakin menjauhkan diri dari pusatnya.[36]

Antara Modernisme dan Posmodernisme

Gambaran Barat sebagaimana diuraikan di atas adalah tonggak peradaban yang mereka sebut dengan modernisme. Maka peradaban modern adalah dunia yang awalnya diimajinasikan oleh Descartes dan dijalankan oleh gerakan Pencerahan. Memang peradaban Barat itu mempusakakan narasi-narasi besar, sehingga lahirnya narasi-narasi kecil tak memiliki arti, tergilas dan harus masuk dalam otoritasnya.

Modernisme juga telah menghasilkan kecangihan sains dan teknologi, untuk di satu sisi sangat menguntungkan karena dapat membantu dan mempermudah kegiatan manusia, namun di sisi lain membawa kebangkrutan manusia modern. Memang benar modernisme membawa kita kepada peningkatan akses informasi, menjalarnya ekonomi global dan revolusi teknologi (pembuatan senjata canggih), namun modernisme juga membawa manusia ke jurang yang tanpa batas, manusia menjadi objek dan menjadi koloni bagi yang lain, sehingga wajar jika peperangan dan konflik berkepanjangan mewarnai era ini. Tidak dapat disangkal, sains dan teknologi telah dijadikan postulat dan ideologi yang tertutup.[37] Kemajuan manusia hanya diukur oleh kemajuan sains dan teknologi bahkan peradaban manusia dibimbing dari sana. Sains menjadi sebuah kontrol teknis (hasil dari rasio dan tindakan teknis, dalam bahasa Weber) bagi penciptanya sehingga manusia layaknya robot yang dikendalikan oleh hasil ciptaannya sendiri.

Peradaban ini ternyata telah melahirkan tatanan kehidupan yang buruk bagi manusia.[38] Pertama, karena membagi kenyataan secara dualistik, yaitu subjek-objek, spritual-material, manusia-dunia, yang mengakibatkan objektifikasi alam yang berlebihan sehingga terjadi krisis ekologi. Kedua, pemikiran modern cenderung bersifat objektivistis dan positivistis, sehingga menjadikan masyarakat sebagai objek dan direkayasa menjadi mesin. Ketiga, modernisme manganggap ilmu-ilmu positif-empiris menempati standar kebenaran tertinggi, sehingga cenderung melupakan nilai-nilai moral dan religius yang sebenarnya juga kebutuhan yang sangat penting bagi manusia yang menyebabkan terjadinya depresi mental, disorientasi moral-religius dan kekerasan.

Untuk itu beberapa pemikir postmodern terus melakukan kritik atas cara pandang masyarakat modern. Sebut saja Habermas, pemikir New Left ini ingin mengembangkan paradigma komunikasi yang cenderung dilupakan oleh masayarakat modern. Masyarakat modern yang cenderung menggunakan rasio praktis yang biasa digunakan dalam nalar ilmu pengetahuan positif empiris, sains misalnya, telah mendominasi tatanan kehidupan sosial dan melupakan rasio komunikatif yang juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Rasio komunikatif ini justru unsur yang sangat penting untuk mengembangkan kebudayaan dan mengatasi kompleksitas kehidupan.[39]

Kemampuan komunikasi manusia untuk mengembangkan dirinya dalam rasio dan tindakan komunikatif seperti kehilangan fungsinya[40]. Agama pun kehilangan maknanya. Kekeringan spiritual (keterikatan pada ilahi) diganti dengan keterikatan pada produk. Masyarakat modern telah terjebak pada cara berfikir yang logosentris, yaitu hanya mematok standar kebenaran dan nilai dengan satu cara: ukuran sainstis dan ilmiah semata.

Mirip dengan paradigma komunikasi Habermas, Gadamer seorang hermeneutis, menyatakan bahwa unsur dialog adalah unsur yang paling fundamental untuk mengatasi persoalan, memahami realitas yang berbeda, dan menciptakan pemahaman serta penghargaan bagi yang lain. Konflik-konflik kehidupan yang terjadi dapat diatasi dengan cara ini. Bagi Gadamer kebenaran akan terungkap ketika dialog itu dilakukan. Sehingga kehidupan ini sebenarnya hanya merupakan bentuk permainan eksistensial dimana dalam setiap permainan itu seseorang akan menemukan pengetahuan (insight) baru justru karena bertemu dan berinteraksi dengan orang lain. Pengetahuan baru ini adalah unsur yang penting dalam menata hubungan dengan orang lain.[41]

Di samping itu dalam sisi analisa wacana dan kesejarahan Foucault menyebutkan bahwa kemunculan sebuah institusi, praktik dan konsep sangat terkait dengan empat hal: keinginan (will), kekuasaan (power), disiplin (discipline) dan pemerintahan (regime). Empat hal ini yang dikenal dengan formasi diskursif (discursive formation) yang mendasari setiap diskursus termasuk diskursus tentang modernisme, yang melandasi masyarakat modern. Faucoult memberikan kesadaran bahwa pengetahuan itu dikontrol, dibatasi dan kadang disingkirkan, jadi ada semacam the politics of all forms of knowledge. Diskursus modernisme mendapatkan jalan yang lapang seiring dengan kemajuan media masa. Karena itu diskursus modernisme ini sebagai a serius speech act dan merasuki benak setiap orang yang kemudian mengkontrol tindakan masyarakat itu cepat tersebar dengan kecanggihan teknologi yang dihasilkan modernisme tersebut.[42] Diskursus modernisme yang positivistik dan dikotomis ini kemudian mendominasi pengetahuan masyarakat dan melupakan sumber pengetahuan lainnya seperti religi, tradisi dan moral.

Kita Hari ini; sedikit catatan

Sampai hari ini masih terdengar suatu distingsi, bahwa Barat adalah peradaban ilmu, rasional, modern, jantan, dan terstruktur, sementara peradaban Islam (dan timur pada umumnya) adalah peradaban seni, misteri, tradisional, feminim, dan tak terstruktur. Sudah tentu, distingsi sepihak ini membuat sementara umat Islam geram bahkan berang. Dalam bayangannya, dapat saja itu sengaja dibuat untuk memojokkan Islam sebagai peradaban. Maka berbagai upaya terus dilakukan untuk menunjukkan bahwa Islam juga peradaban ilmu, rasional, modern, jantan, dan terstruktur.

Maka apa yang disebut Barat sebagai ilmu, rasional, modern, jantan, dan terstruktur kemudian dipelajari, dipahami dan selanjutnya digunakan untuk “merekonstruksi” peradaban Islam. Peradaban Islam yang khas kemudian dirubah, tidak hanya sekedar “ganti baju” tetapi juga karakter dan sstruktur terdalamnya. Di sinilah posisi pemikiran neo-modernisme atau modernisme Islam. Dan, dalam waktu 3 abad belakangan wacana pemikiran Islam didominasi oleh pemikiran modern ini. Maka pandangan tradisional tentang realitas, manusia, alam, ilmu, sistem pemerintahan, dan sistem perekonomian dirombak atau direkonstruksi, yang pada dasarnya merupakan copy-paste dari peradaban Barat.

Dengan begitu, sudah tentu peradaban Islam menjadi “setara” dengan peradaban Barat sebagai peradaban ilmu, rasional, modern, jantan, dan terstruktur. Tidak hanya “setara”, bahkan “sangat Barat”. Mereka puas!!

Namun tiga atau empat dasa warsa belakangan, Barat dengan modernismenya dikritik dengan posmodernisme, bahwa pandangannya tentang realitas, manusia, alam, dan ilmu telah salah, karena kesalahan cara pandang. Maka kritikan ini berimplikasi besar pada peradaban Islam yang nota bene telah berubah menjadi modernisme Islam.

Di sini memang tidak dikatakan bahwa peradaban Islam (dan Timur umumnya) sebagai peradaban posmodernisme, namun apa yang oleh Barat disebut peradaban posmodernisme itu sebenarnya “Peradaban Seni” (bukan peradaban ilmu) yang sejak semula dilekatkan pada peradaban Timur. Menurut Barat, peradaban Timur ternyata lebih reil. Tetapi perlu diingat, Timur yang dimaksud adalah Timur lama, ketika belum terkontaminasi oleh cara pandang Barat.

Ibarat sebuah bangunan (rumah, misanya), peradaban kita saat ini sebagian besar tiyang penyanggahnya telah roboh diterjang badai. Inilah yang menjadi keprihatinan kaum tradisional, yang selama berabad-abad mempunyai andil cukup besar bagi bangunan intelektualisme di dalam Islam. Namun, selama ini mereka tidak lagi produktif, karena sibuk menyelamatkan sisa-sisa tradisi yang sebagian besar telah tercerabut oleh kekuatan peradaban Barat. Kita tetap harus bangga dengan mereka (kaum tradisional).

Pada bagian lain, keprihatinan juga muncul dari golongan yang oleh sementara kalangan disebut dengan gerakan revivalis. Meskipun berada pada satu moment dengan gerakan posmodernisme di Barat, tidak berarti gerakan revivalis ini memiliki keterkaitan dengan gerakan itu. Mereka ingin mengembalikan jati diri peradaban Islam seperti keadaan sebelum terkontaminasi oleh pemikiran Barat.

Akhirul Kalam

Peradaban merupakan tema besar, apalagi jika harus memandingkannya dengan peradaban lain. Maka sudah tentu banyak terjadi simplifikasi. Namun sedikit bisa diketahui bahwa dominasi peradaban Barat telah membuat peradaban Islam kalang kabut. Peradaban ilmu yang diidentikan dengan Barat membuat paradaban Islam yang disimbolkan dengan peradaban seni merubah diri. Namun kenyataan bicara lain bahwa peradaban seni lebih realistis, sebaliknya peradaban ilmu hanyalah berupa narasi besar yang hanya illusi.

Ambruknya cara pandang Barat terhadap dunia sebenarnya menandakan era kematian peradaban Barat, sebaliknya pembangunan kembali tradisi dan jati diri Islam merupakan era kebangkitan peradaban Islam. Dan sekaranglah saatnya…

Wallahu a’lam bish shawab

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)

Al-Ghazali, “Risalah al-laduniyyah” dalam Qushur al-awwali, yang dihimpun oleh Musthafa Muhammad Abu Al-’Ala, (Mesir: Muktabah Al-Jundi, 1970)

Al-Jabiri, Abied, Bunyah al-’Aql al-’Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-’Arabi, 1993)

Dahlan, Abdul Aziz, “Pengajaran tentang Tuhan dan Alam: Paham Tawhid Ibn ‘Arabi,” dalam Ulumul Qur’an, vol. III, No. 4/1992

Daniel, Norman, Islam and West: The Making of an Image, (Edinburgh: Edinburgh University Press 1980)

Dreffus, H.L. dan Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermenutics, (Hemeld Hempstead: Harvester Wheatsheaf, 1982)

Gadamer, Hans George, Truth and Method, (London: Sheed and Ward,1975)

Garaudy, Regor, Janji-janji Islam, terj. HM. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982)

Giddens, Anthony. (ed.), Positivism and Sociology, (London: Heinemann, 1975)

Habermas, Ilmu dan Tekhnologi Sebagai Ideologi, (Jakarta: LP3ES, 1991)

Habermas, Jurgen, The Theory Comunicative Action, Jilid II, (Boston: Beacon Press, 1984)

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991)

Hanafi, Hasan, Oksidentalisme, Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Paramadina, 2000)

Hardiman, F. Budi, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Usaha untuk Menyelamatkan Subjek” dalam Basis, Maret 1991

______, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, (Yogyakarta: Kanisius, 1990)

Hassan, Abd al-Hakim, al-Tashawwuf fi al-Syi’r al-’Arabi, (?)

Hourani, Albert, Islam in European Thought, (Cambridge: Cambridge University Press 1991).

Hussain, Asaf, “The Idology of Orientalism,” dalam Asaf Hussain, Robert Olson, Jamil Qureshi (eds.), Orientalism, Islam, and Islamisits, (USA: Amana Books, 1984)

King, Richard, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme, (Yogyakarta: Qalam, 2001)

Madkour, Ibrahim, Filsafat Islam, Metode dan Penerapannya, terj. Yudian W. dan Ahmad Hakim Mudzakkir, (Jakarta: CV Rajawali, 1988)

Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2004)

______, “Logika Illuminasi, Pemikiran Epistemologi Suhrawardi” dalam KALIMAH, Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 1, Nomor 1, September 2002

Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilzation in Islam, (Cambgridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1968)

Rahman, Fazlur, “Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay”, dalam Ricard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson: The University of Arizona Press, 1985)

Rodinson, Maxime, ‘The Western Image and Western Studies on Islam’ dalam Joseph Schaht dan C.E. Bosworth (eds.), The Legacy of Islam, edisi II, (Oxford: Oxford University Press 1974)

Said, Edward W., “Orientalism Reconsidered,” dalam Culture Critique, No. 1, 1985

______, Orientalism, (New York: Vintage Books, 1978)

Schimmel, Animarie, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)

Shakr, Mahmod dalam Norman Daniel, Orientalism Again, tt,

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1997)

Smith, Margaret, Readings from the Mystics of Islam, (London, 1970)

Steenbrink, Karel A., “Berdialog dengan Karya-karya Kaum Orientalis,” dalam Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 2,1992

Sugiharto, I. Bambang, Postmodern Tantangan bagi Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996)

Tabawi, A.L., “Al-Mustasyriqûn al-Nâtiqûn bi al-Injiliyah wa Madâ Iqtirâbihim min Haqiqat al-Islâm wa al-Qawâ’id al-’Arabiyyah, dalam M. al-Bahi, Al-Fikr al-Islâm al-Hadîts wa Shilatuhu bi al-Isti’mâr al-Gharbî, terj. Fathi Uthman, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1975)

Turner, Bryan S., “Orientalism, Islam, Capitalism,” dalam Social Compass, XXV, 1978

______, “Orientalism and the Problem of Civil Society in Islam,” dalam Asaf Hussain, Robert Olson, Jamil Qureshi (eds.), Orientalism, Islam, and Islamisits, (USA: Amana Books, 1984)

~ oleh santgreat pada 2009/04/11.

Tinggalkan komentar